#SAKILEHINFO
INFOMINANG
Opini  

Sumatera Barat, Negeri Cendekia yang Sedang Menyiapkan Lompatan Besar

Oleh: Yohan Fitriadi. Mahasiswa Doktoral Manajemen Universitas Andalas

Opini yang menyebut Sumatera Barat sebagai “negeri lulusan doktor yang tak punya lapangan kerja” memang terasa pilu sampai ke kalbu. Namun, pandangan itu terlalu tergesa membaca fenomena pembangunan yang sedang bertransformasi. Sumatera Barat bukanlah provinsi yang kehilangan arah, tetapi sedang berada pada fase reorientasi struktural dari ekonomi berbasis konsumsi menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi.

Bahwa inflasi dan pengangguran sempat naik, itu benar. Tetapi realitas itu adalah bagian dari dinamika nasional, bukan gejala lokal semata. Justru di tengah situasi ekonomi yang menantang, Sumatera Barat menunjukkan ketahanan sosial dan kultural yang luar biasa. Koperasi, UMKM, dan sektor kreatif tumbuh signifikan di berbagai daerah. Kabupaten seperti Tanah Datar, Payakumbuh, dan Agam kini menjadi laboratorium kewirausahaan lokal berbasis komunitas.

Kekuatan Cendekia dan Perantau

Lebih dari itu, banyak lulusan doktor asal Sumatera Barat telah pulang dan berkontribusi nyata. Mereka membangun universitas, memperkuat birokrasi, membentuk lembaga riset, bahkan mendirikan startup berbasis teknologi dan pendidikan. Mereka bukan sekadar pembicara seminar, tetapi penggerak perubahan yang bekerja senyap di ruang-ruang strategis.

Dan jangan lupakan kekuatan besar lain yang menjadi ciri khas Minangkabau: perantau. Di Jakarta, Batam, hingga Melbourne dan Jeddah, banyak putra-putri Minang yang sukses membangun karier akademik, profesional, maupun bisnis berskala global. Mereka membawa perspektif baru, cara berpikir modern, dan jejaring internasional yang bisa menjadi modal luar biasa bagi percepatan pembangunan daerah.

Sayangnya, potensi besar ini belum sepenuhnya disambut secara sistematis oleh pemerintah daerah. Padahal, jika dikelola dengan visi kolaboratif, jejaring perantau bisa menjadi sumber gagasan, modal, dan inovasi kebijakan. Sudah saatnya Sumatera Barat menyiapkan platform strategis yang mempertemukan pemikir lokal, akademisi pulang kampung, dan diaspora Minang di luar negeri untuk berpikir bersama membangun tanah asalnya.

Paradoks yang Sebenarnya Sedang Diterjemahkan

Paradoks antara banyaknya pemikir dan sedikitnya ruang berpikir bersama pemerintah memang terasa. Namun, menyimpulkan stagnasi lahir dari pemerintah yang belum siap membuka kolaborasi terlalu menyederhanakan kenyataan. Dalam beberapa tahun terakhir, pola kemitraan antara akademisi, birokrasi, dan pelaku usaha mulai terbentuk walau belum masif, tapi menjanjikan.

Di sektor ekonomi, komunitas akademik dan praktisi muda juga ikut mendorong inovasi dalam rantai pasok pertanian dan pariwisata. Salah satu contoh menarik adalah pengembangan benih kentang berbasis aero-robotik yang kini tumbuh di berbagai daerah di Sumatera Barat. Inovasi ini bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperkenalkan teknologi presisi pada petani lokal sesuatu yang dulu dianggap mustahil di sektor pertanian tradisional.

Bahkan di industri kuliner, muncul UMKM inovatif di Kota Padang yang berhasil menggabungkan warisan rasa lokal dengan sentuhan global. Produk “Chili Chocolate Cassava Rochers”, hasil kreasi wirausaha muda yang memadukan cita rasa cokelat dengan sensasi balado khas Minangkabau, kini sukses menembus pasar ekspor ke Singapura. Inovasi ini membuktikan bahwa kreativitas Minang tidak hanya hidup dalam tradisi, tetapi juga mampu bersaing di panggung dunia.

Transformasi dari Akar Ekonomi

Benar bahwa ekonomi Sumatera Barat masih didominasi sektor primer seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan. Namun, justru di sinilah peluang besar terletak. Dengan fondasi sumber daya alam yang kuat dan warisan sosial yang kokoh, Sumatera Barat memiliki potensi besar membangun agro-industry berbasis pengetahuan.

Para akademisi lokal kini turun langsung ke lapangan mengembangkan teknologi teknologi pascapanen berbasis sensor dan mekanisasi sederhana, seperti yang dikembangkan oleh Universitas Andalas. Selain itu Industri pengolahan memang belum melesat cepat, tetapi arah kebijakan baru mulai menggeser orientasi itu. Dukungan terhadap UMKM meningkat signifikan, sementara ekspor produk olahan seperti rendang, kopi, dan hasil perikanan mulai menembus pasar internasional.

Dengan kata lain, Sumatera Barat sedang beralih dari ekonomi berbasis komoditas menuju ekonomi berbasis nilai tambah. Ini bukan stagnasi, tetapi proses penataan ulang dan setiap proses transisi membutuhkan waktu.

Tata Kelola yang Sedang Diperbarui

Tantangan tata kelola publik memang nyata, tetapi tidak statis. Reformasi digital administrasi mulai diterapkan, dan pola kerja berbasis kinerja perlahan menggantikan budaya birokrasi lama. Di sejumlah daerah, kepala daerah justru berperan sebagai fasilitator bagi akademisi muda untuk melakukan riset kebijakan.

Menyebut birokrasi sebagai “mesin usang yang enggan diperbaiki” jelas tidak menggambarkan perjuangan para aparatur muda yang kini berlari memperbaiki sistem dari dalam. Perubahan sedang berlangsung pelan tapi pasti.

Arah Baru: Kolaborasi Pengetahuan dan Ekonomi Rakyat

Sumatera Barat bukan negeri yang kehabisan akal, melainkan negeri yang sedang menata ulang daya pikirnya. Dari kampus, pesantren, hingga nagari, muncul banyak gagasan segar untuk menjembatani ilmu dan kebijakan.

Yang dibutuhkan bukan sekadar kritik, tapi ruang dan kepercayaan untuk berkolaborasi. Ketika pemerintah, akademisi, perantau, dan masyarakat bersinergi tanpa saling menyalahkan, maka negeri cendekia ini bukan hanya akan dikenal karena banyaknya lulusan doktor, melainkan karena keberhasilannya membangun sistem ekonomi berbasis pengetahuan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Sumatera Barat sedang menyiapkan lompatan besar — dan para doktor serta perantau yang dianggap “tak punya tempat” hari ini, justru akan menjadi arsitek masa depan provinsi ini esok hari.

Exit mobile version