“Majulah Singapura” merupakan lagu kebangsaan resmi Singapura sejak negara tersebut merdeka penuh pada 9 Agustus 1965. Namun, tak banyak yang tahu bahwa lagu ini digubah oleh Zubir Said, seorang keturunan Minangkabau yang lahir di Fort de Kock (kini Bukittinggi) pada 22 Juli 1907, Sumatera Barat, Indonesia. Zubir adalah anak sulung dari sembilan bersaudara. Ibunya meninggal ketika ia berusia tujuh tahun, sedangkan ayahnya bernama Mohamad Said bin Sanang.
Sebelum merantau ke Singapura pada tahun 1928, Zubir sempat menempuh pendidikan di Belanda. Namun, kecintaannya pada musik membuatnya meninggalkan pendidikan formal tersebut, meski mendapat tentangan dari sang ayah. Sejak muda, Zubir belajar berbagai alat musik seperti suling, gitar, dan drum secara otodidak, hingga ia dikenal sebagai komponis dengan “jiwa Melayu sejati.”
Karier dan Kehidupan di Singapura
Di Singapura, Zubir awalnya bergabung dengan Grup Bangsawan, kelompok opera yang banyak diperankan oleh seniman Melayu. Pada 1936, ia bekerja di perusahaan rekaman His Master’s Voice, tempat ia bertemu dengan Tarminah Kario Wikromo, penyanyi keroncong asal Jawa, yang kemudian menjadi istrinya pada 1938.
Keluarga Zubir sempat kembali ke Bukittinggi menjelang Perang Dunia II pada 1941, namun mereka kembali ke Singapura pada 1947. Di sana, Zubir bekerja sebagai fotografer di Utusan Melayu dan kemudian memimpin produksi musik di perusahaan film Shaw Brothers Malay Film Production. Pada 1950-an, ia menjadi pengubah musik untuk Cathay Keris, perusahaan film terkemuka, dan mulai menulis musik untuk film-film Melayu.
Pada 1957, karya Zubir dipentaskan di Teater Victoria, dan setahun kemudian, Dewan Kota Singapura menetapkan salah satu komposisinya sebagai lagu resmi kota, yaitu “Majulah Singapura”. Lagu ini akhirnya dipilih sebagai lagu kebangsaan ketika Singapura merdeka pada 1965.
“Majulah Singapura” dan Kontribusi Zubir
Awalnya, lagu “Majulah Singapura” digubah dalam kunci G mayor, tetapi pada 2001 diubah menjadi kunci F mayor untuk memberikan aransemen yang lebih megah. Lagu ini biasa dinyanyikan dalam berbagai upacara, terutama di sekolah-sekolah dan kamp militer, serta pada perayaan nasional seperti Parade Hari Nasional.
Berikut petikan liriknya:
“Majulah Singapura // Marilah kita bersatu // Dengan semangat yang baru // Semua kita berseru // Majulah Singapura.”
Zubir Said juga menciptakan lagu anak-anak Singapura, “Semoga Bahagia”, dan ratusan lagu lainnya, termasuk “Sang Rembulan”, “Sayang Disayang”, dan “Cinta”. Salah satu karyanya dalam film Dang Anom bahkan memenangkan penghargaan di Festival Film Asia ke-9 di Seoul pada 1962.
Pada 1964, Zubir memilih mundur dari dunia film dan fokus mengajar generasi muda tentang musik. Sepanjang kariernya, ia menciptakan sekitar 1.500 lagu, dengan 1.000 di antaranya dipublikasikan.
Warisan dan Penghargaan
Zubir Said meninggal dunia pada 16 November 1987 di Joo Chiat Place, Singapura, akibat penyakit liver. Ia dimakamkan di Pusara Aman, Singapura, dan meninggalkan seorang istri, empat putri, dan seorang putra.
Atas dedikasinya, pemerintah Singapura memberikan penghargaan berupa patungnya di Istana Kampong Gelam, pusat budaya Melayu. Pada 22 Juli 2014, bertepatan dengan hari ulang tahunnya, Google Singapura menampilkan ilustrasi Zubir di halaman depannya. Selain itu, nama jalan “Zubir Said Drive” diabadikan di Singapura untuk mengenang jasanya.
Menurut Hasril Chaniago dalam buku “101 Orang Minang di Pentas Sejarah” (2010), Zubir bukan hanya seorang komponis hebat tetapi juga guru bagi seniman besar, termasuk P. Ramlee, ikon legendaris Malaysia. Hingga kini, belum jelas apakah Zubir meninggal dengan kewarganegaraan Singapura atau tetap sebagai warga Indonesia. Namun, yang pasti, Indonesia patut berbangga atas salah satu putra terbaiknya yang berkontribusi besar bagi bangsa lain melalui musik. Sumber: Gabungan dari berbagai sumber.